Friday 16 January 2015

-31082014-

Bangun tidur hari ini, suasana hati gue agak diwarnai dengan warna kelabu. Kesel bingitsss. Pagi tadi gue terbangun atas prakarsa tukang jual buah pisang yang lewat depan rumah gue. Eksistensi si tukang pisang itu sangat mengganggu ketenangan hidup gue tadi pagi. Apa pasal? Si bapak tukang pisang itu teriak-teriak di depan rumah gue,

"Buuuuu, pisangnyaaaa, buuuuuuu... PISAAAAAANG!!"

Kadang bapak penjual pisang itu menjajakannya dengan berbagai macam intonasi yang variatif dengan menggabungkan jenis-jenis variable nada diatonik dipadukan dengan nada pentatonik minor dan pentatonik mayor seperti:

"iiiii.. buuuuu.. piiii.. saaaaaangggnyaaaa buuuu.. (parararampampam)..!!"

Atau

"Pisangnyaaaa.. piiiii.. saaaaaangggg ibuuuuu.. (syalalalala.. laaa.. laaaa).."

(Hah? Pisangnya pisang ibu? Dan sejurus kemudian gue pun merenungi dan menela'ah makna yang tersirat di balik kalimat yang mengandung kontroversi umum tersebut)

Atau

"Piiiisaaangggg.. piiisaaaanggg.. maen yukkk.."

(Enggak sih, kalimat yang terakhir mah cuma fiktif belaka.. tapi itu yang ada di benak gue)

Nampaknya si tukang pisang itu belum juga puas, diulangnya lah kalimat-kalimat untuk menawarkan barang dagangannya itu, mungkin supaya terdengar jelas seantero alam semesta kompleks rumah gue. Tapi, hei, men, jangan di depan rumah gue juga kali.. 😞😒

Di telinga gue, kalimat-kalimat itu terdengar setengah memaksa dan selama belom ada yang beli, bapak itu akan terus melakukannya berulang-ulang sampe gue pindah rumah kayaknya. Kenapa sih harus teriak-teriak macem gitu di depan rumah orang? Pagi-pagi pula. Nggak bisa, apa, dalem hati aja gitu teriak-teriaknya? Lagian kalo emang ibu-ibu kompleks ada yang mau beli pisang, kan ya nanti nyamperin, nggak perlu bikin huru-hara di Minggu-pagi-yang-cerah-ceria-mempesona-namun-berubah-jadi-prahara-pasca-kedatangan-si bapak-penjual-pisang ini di depan rumah gue, dengan melakukan repetisi kalimat-kalimat yang mengandung potasium tersebut. Setau gue, pisang sangat kaya akan zat potasium yang berguna untuk mengentaskan kemiskinan masyarakat Indonesia. (iya nggak nyambung emang.. bodo amat! Yang pasti gue masih kesel..)😥😧

Dampaknya pun sangat besar dalam hidup gue, gue dengan sukses nggak bisa melanjutkan tidur lagi. Entah ini kelebihan atau kelemahan gue. Keseringannya, gue kalo udah bangun pagi sekitar jam 5 ato 6-an gitu, apalagi bangun dengan disertai kekesalan, itu nggak akan bisa tidur lagi. Padahal kan paling nggak gue masih punya kelebihan waktu buat ngelanjutin tidur sampe jam 8-an lah.

Ok, gue memutuskan untuk melampiaskan kekesalan gue dalam bentuk tulisan ini, daripada gue berlarut-larut "dendam" sama tukang pisang yang nggak bisa woles buat nawarin dagangannya, entah mungkin dia sangat bersemangat dan bergairah dalam menjajakan PISANGNYA.

Eh, "pisangnya"????? Hmm.. ya gitu deh maksud gue, dia kan jualan pisang, jadi dia nawarin pisangnya donk? Masa jualan pisang, nawarinnya "manggisnya"?

Ngomong-ngomong soal pisang, entah kenapa tadi pagi tiba-tiba memori gue terbang ke beberapa taun silam. Jaman dimana gue mengalami kekalutan dan pergumulan batin yang sangat luar biasa dahsyat. Masa-masa ketika gue harus rela menyerahkan sebagian kecil dari bagian tubuh gue untuk dioperasi. Ya.. disunat.. Bahasa kerennya: di-khitan.

Oh iya, kemaren gue liat ada iklan praktek khitan di koran, itu tulisan iklannya:
"SUNAT SAMBIL MAIN PS 3.. hubungi Bapak Pramono - 0813xxxxxxxx"
(PS 3 = PlayStation 3 = konsol video audio game terkini buatan Jepang).

Lantas gue pun bertanya-tanya kenapa disediain video game di dalam ruang praktek sunat? Setelah gue analisa dan melakukan beberapa penelitian, observasi, melakukan wawancara dengan beberapa narasumber yang merupakan korban selamat dari eksekusi itu, serta searching di google, gue bisa menarik hipotesa bahwa video game itu sengaja diadakan buat mengalihkan perhatian si korban eksekusi sunat tersebut dari rasa sakit yang akan dideritanya atau bisa juga buat iming-iming supaya si anak yang akan disunat termotivasi untuk menyerahkan sebagian kecil bagian tubuhnya itu untuk bisa dihilangkan. 😣😣😣
Ada juga yah praktek sunat kayak gitu, baru tau gue.

Tapi kalo buat gue, nggak akan ngaruh metode pengalihan semacam itu. Gue nggak akan rela dieksekusi cuma dengan iming-iming game kayak gitu. Emangnya harga diri gue cuma sebatas benda hitam bernama PlayStation itu?? NO WAY!!! Tapi kalo maen PS-nya di pinggir pantai sambil di-nina-bobo-in sama Olla Ramlan, bolehlah gue pikir ulang mengenai tawaran itu. 😧

Bicara soal pantai, gue bingung kenapa gue cinta banget sama pantai. Mungkin kalo bisa, udah gue nikahin kali tu pantai, tapi kan nggak mungkin. Aneh juga gue ini, segitu fanatiknya sama pantai.

Ok, balik lagi ke polemik mengenai sunatan tadi. Lagi kesel sama tukang pisang tadi pagi, tiba-tiba gue inget masa-masa menunggu eksekusi gue. Bukan hukuman mati sih, agak lebih tepatnya menyongsong "hukuman" penggal, tapi sebagian aja, nggak semuanya dipenggal.

Gue ini termasuk ke dalam kategori pria tampan Indonesia yang telat untuk menjadi korban eksekusi praktek khitan tersebut. Usia gue kala itu udah lewat berkepala 1. Gue punya alasan sendiri kenapa gue sempet nggak mau disunat. Gue takut, men, sungguh! Rasa takut yang luar biasa itu muncul ketika dulu waktu gue masih TK. Dan juga karena di dalam keyakinan yang gue percayai, sunat itu bukan merupakan suatu ritual keagamaan yang wajib dilakukan, maka sejak itu gue memantapkan diri untuk nggak menikah, eh salah, untuk nggak disunat. Tapi seiring berjalannya waktu, gue menyadari bahwa disunat adalah bukan cuma kewajiban ritual agama semata, tapi untuk alasan kesehatan dan kebersihan. Berbekal keinginan bahwa gue ingin "adik kecil" gue senantiasa panjang umur, sehat walafiat, sakinah mawadah dan warahmah, maka gue pun akhirnya memberanikan diri juga untuk dioperasi walo nggak diiming-imingi bakal dikasih gratis nonton konser JKT48 sekalipun.

Ketika itu sekitar awal taun 1990-an, gue ikut nganterin kakak sepupu gue yang mau disunat. Tapi gue nggak ikut nemenin masuk ke ruang operasi. Gue nunggu di luar. Saat itu menunjukkan pukul 5 pagi. Agak aneh juga, mau sunatan aja kudu pagi-pagi buta, biar apa, coba? Mungkin demi keselamatan jiwa sang korban, entah juga.

Dan bener sesuai bayangan gue, proses eksekusi terhadap bagian tubuh kakak sepupu gue itu menjelma menjadi momok yang sangat menakutkan, setidaknya buat gue. Gue denger teriakan dan rintihan pilu kakak sepupu gue yang ada di dalem ruang bedah sebagai bentuk perlawanan alot untuk mempertahankan keutuhan dari NKT-nya (Negara Kesatuan Tubuh). Gue bergidik ngeri. Entah karena imajinasi gue yang berlebihan ato apa, tapi waktu itu sungguh gue denger suara mesin bor. Gue nggak tau juga bor itu buat apa. Atau itu hanya halusinasi gue aja? Nggak tau juga. Disunat kok pake bor ya?? Buat ngukirnya, gitu?? 😯 kayuuu kali diukir..

Sayup-sayup gue denger kakak sepupu gue bersumpah-serapah. Salah satu kalimat yang gue denger dari luar ruang praktek dokter khitan itu adalah..

"DOKTER G*BLOOOOOOKKKKKK!! SAKIT TAUUUUU.. AAAAARRRGHHHHHHH.. HUAAAAAA!! DOKTER B*GOOOOOO!!"

Saat itu gue bergumam:

"Oh Tuhan, jangan ambil kakakku.." 😢

Kalo Bahasa Inggrisnya biasanya semacam:

"Oh God.. He didn't make it.." 😢

Yang biasanya kalo orang bule udah bilang gitu, biasanya si korban langsung mati. Tapi ini kan cuma disunat, masa mati sih? Yaahh namanya juga nalar anak TK yang imut dan rupawan, kan, ya bisa aja tho gue berpikir kayak gitu. Lagian sapa suruh gue disuguhi teriakan-teriakan membahana yang menyayat hati macem begitu?? Sejak saat itu tertanam dibenak gue bahwa disunat itu adalah hal krusial mengenai pertarungan hidup dan mati seorang pria di dunia ini, yang sangat mempertaruhkan jiwa dan raga, dimana terdapat di dalamnya adalah proses meregang nyawa (disunat apa dikurbankan sih ini??)

Dua jam berlalu. Gue nggak denger lagi teriakan dari kakak sepupu gue. Gue harap dia baik-baik aja. Dan gue berharap keponakan gue lahir dengan sehat dan selamat sentosa (lho??). Jam udah menunjukkan pukul 8. Itu artinya gue harus siap-siap untuk sekolah, karena waktu itu gue masuk siang. Dan gue pun nggak bisa nemenin kakak sepupu gue sampe bener-bener beres. Gue dan bokap gue akhirnya pamit, untuk menuju sekolah.

Pulang sekolah, gue dijemput bokap untuk langsung ke rumah kakak sepupu gue. Sesampai di rumahnya, udah banyak orang. Gue liat kakak gue udah duduk di semacam singgasana yang dikondisikan bahwa dia lah yang punya hajat. Sambil berbalutkan kain sarung kotak-kotak ungu-pink semi polkadot yang berenda-renda, tergambar jelas di raut wajahnya, bahwa eksekusi operasi penentuan hidup dan mati yang telah dilaluinya masih menyisakan kesakitan yang tidak terperikan. Meringis-meringis aduhai syalala gitu. Sesekali kakak sepupu gue nangis nahan sakit. Hal itu makin memantapkan hati gue untuk tetap dalam usaha perjuangan mempertahankan keutuhan NKT gue. GUE NGGAK MAU DISUNAT, TITIT eh, TITIK!!

Tibalah saatnya kesadaran gue itu mendominasi dan mencederai janji hati untuk gue yang nggak mau disunat. Dan karena didorong juga dengan satu per satu temen-temen gue yang cowok cerita-cerita gimana enaknya permintaan mereka dikabulkan orang tuanya karena mereka bersedia disunat, akhirnya gue dengan sukarela menyerahkan diri untuk disunat. Tapi nampaknya waktu itu tawaran gue cukup sulit ke bokap nyokap gue, gue mau disunat (padahal gue udah sadar harus mau disunat, tapi dasar bebal, masih ngajuin penawaran aja.. yah asas manfaat gitu loh!) asal gue dipertemukan dengan Leony Trio Kwek-Kwek. Dulu gue ngefans banget sama dia. Pujaan hati setiap anak laki-laki Indonesia lah. Tapi bokap nyokap gue kan sebenernya gue nggak disunat pun gapapa, jadi mereka enggan memenuhi permintaan terakhir gue, sebelum gue dieksekusi. Akhirnya gue pasrah berserah kepada Sang Maha Khalik, menyerahkan diri untuk nggak lagi utuh bagian tubuhnya dengan tulus ikhlas tanpa tanda jasa dan mendapat imbalan apapun.

Hari penentuan hidup dan mati bagi gue itu pun tiba. Gue berusaha tenang, tapi bo'ong banget kalo gue bilang gue baik-baik aja.

Pagi itu sekitar pukul 7, gue yang cuma dianter bokap ke tempat praktek dokter khitan itu, jalan menuju meja asisten-dokter yang mau menangani gue, untuk daftar nama, terus nunggu sebentar. Selang 10 menit, nama gue dipanggil masuk. Gue masuk sama bokap. Ngobrol seadanya sama dokternya, langsung suru copot celana, celana dalem, baju, kaos dalem. Eh, nggak denk.. cuma celana sama celana dalem aja. Terus gue berbaring. Dokter langsung nyuntik cairan bius lokal di tubuh gue di bagian tertentu di bawah sana. Bodo amat gue nggak mau liat. Tadinya gue pengen bius total aja, tapi masa operasi kecil aja kudu nggak sadarkan diri? Nanti kalo gue dilecehkan gimana?

Abis disuntik itu, gue diminta nunggu supaya obat biusnya bekerja dengan sempurna. Sepanjang nunggu itu gue nggak berenti berdoa mohon kekuatan, kalo bisa malah gue dikasi kekuatan spiderman aja biar gue bisa ngiket dokternya pake jaring supaya nggak jadi disunat. Gue juga berdoa mohon ampun segala dosa dan kesalahan gue sama Tuhan, kalo-kalo nyawa gue nggak tertolong. Mungkin kalo waktu itu udah jamannya BBM, gue mau broadcast ke semua kontak BBM gue:

"Temen-temen mohon doa restunya ya. Gue mau operasi yang sifatnya sangat krusial sebentar lagi. Ini sangat menentukan masa depan gue selanjutnya. Semoga umur gue masih panjang, tapi kalo Tuhan berkehendak lain dengan gue, sampai ketemu di kehidupan yang lain. Maafin semua salah gue ya, dan gue pun udah maafin semua salah kalian. Tertanda, temanmu yang tampan."

Nggak berapa lama, biusnya mulai bekerja, dan saat itu gue sama sekali nggak merasakan bahwa gue punya selangkangan. Gue kehilangan selangkangan gue oy!! Dia telah hilang. Gue nggak merasakan kehadirannya di tempat biasanya. Kembali lah oh selangkangankuuu.. 😢

Dokter lalu mendekat ke gue disertai bokap yang nemenin gue di ujung bawah bagian kaki tempat berbaring selama operasi, entah apa yang dokter itu lakukan kepada benda keramat gue di bawah sana, dia bilang ke bokap gue:

"Tuh, pak, ini harus dibersihkan.."

Bokap gue manggut-manggut kayak sinterklas maen kudalumping.

Apanya yang dibersihin? Emang sekotor apakah benda di bawah sana? Ada debunya kah? Ada sarang laba-labanya kah? Ada kecoanya kah? Ah WHATEVER! gue pengen cepet-cepet ini berakhir.

Dokter mulai ngeluarin gunting, dan bunyi gesekan besi-besinya bikin gue ngilu. Bokap megangin kedua kaki gue, bener-bener mirip sapi yang mau dikurbankan. Mungkin bokap takut kalo tiba-tiba gue bertindak brutal dan anarkis ke dokternya selama proses operasi itu. Dari rumah, gue udah mempersiapkan segala sesuatunya. Gue bawa buku "Lupus" sama walkman (dulu belom ada MP3) buat pengalihan perhatian gue selama eksekusi. (Cerdas kan gue?! 😎)

Dalam posisi tiduran, gue pasang walkman di kuping lalu baca buku "Lupus" yang sebenernya buku itu udah berulang kali gue baca sampe abis. Dan gue membayangkan yang indah-indah, seperti tiba-tiba Leony dateng lalu menguatkan gue sambil menggenggam erat tangan gue, sesekali meluk gue, sambil nyemangatin gue suruh tarik napas-dorong-tarik napas-dorong. (?? ini disunat woy!! Bukan melahirkan!!) Dan selebihnya gue serahkan semua keselamatan benda pusaka yang dimiliki pria pada umumnya di seluruh dunia itu kepada dokter bedah.

Gue liat jam dinding, setengah jam berlalu, gue menantikan dengan gundah, hal-hal yang bisa bikin gue teriak-teriak kayak kakak sepupu gue silam. Tapi sampe saat itu gue rasakan fine-fine aja tuh. Gue juga nggak menemukan adanya mesin bor ato gergaji mesin teronggok di ruangan itu.

Kurang dari 1 jam, operasi pun selesai. Gue kaget,

"Hah? Udah cuma gitu doank? Kok gue nggak teriak-teriak ya?", batin gue.
*belagunya sampe ke langit ke-14 padahal udah mau mati*

Dan sesudahnya pun gue bisa langsung pake celana tuh, nggak perlu pake sarung kayak kakak gue. Dan sejak saat itu image dokter khitan di otak gue pun berubah total. Waktu itu kayaknya kakak sepupu gue nya aja yang lebay. Mungkin dia disunatnya pake samurai kali? Entahlah.. yang jelas waktu itu gue bisa sombong bahwa, "Heleehhh disunat mah nggak sakit!! Haha!!" *ketawa penuh kemenangan*

Gue berhasil melawan maut, gue masih idup. Gue nggak kenapa-kenapa. Gue masih ganteng. Terimakasih Tuhan!! 😎

Tapi pas mau pake celana, gue miris banget ngeliat "adik kecil" gue, kayaknya ngenes banget aja gitu dibalut-balut perban yang ada sisa-sisa darah yang mulai mengering.

Gue pun pulang. Dan seolah nggak terjadi apa-apa dengan gue, sesampainya di rumah, nyokap nanya,

"Lho? Kamu nggak jadi disunat?"

"Orang udah.." , jawab gue singkat.

Mungkin cara jalan gue juga biasa aja, nggak kayak orang abis pendarahan. Cuma, kalo lari, gue nggak bisa, apalagi koprol sambil panjat pinang ato balap karung.

Eniwei, kalo di acara undangan gitu, ada seksi dokumentasinya kan ya? Kalo di acara wisudaan, tukang fotonya motoin si mahasiswa ato mahasiswi yang lulus sambil pake toga sebagai bukti bahwa itu acara kelulusan. Kalo di undangan pernikahan, si tukang foto, ngambil gambar orang yang nikahnya tentunya sambil pake gaun dan jas pengantin. Nah yang gue bingung kalo tukang foto di acara sunatan, itu apanya di foto? Masa foto barang bukti "before and afternya"? Kan nggak mungkin kali ya? Terus ucapan kalo undangan kelulusan kan: "Selamat melanjutkan cita-cita". Kalo undangan pernikahan: "Selamat menempuh hidup baru". Nah kalo acara sunatan mungkin, ini mungkin lho ya.. jangan dijadiin trademark juga, "Selamat menempuh bentuk baru" kali yah??

Yah overall, gue cuma mau berpesan kepada adik-adik yang sedang membuncah dalam kekalutan pra-sunat, jangan takut, nggak sakit men! I know you could make it, dude!! 😉 abis itu kan kalian bisa nagih iming-iming ke orangtua kalian masing-masing, saran gue, jangan minta yang susah-susah, yang standart-standart aja ye. Jangan minta foto bareng sama Pamela Anderson ato Farah Quinn, ato pengen berpose sama Pangeran Diponegoro, otherwise kalian akan kecewa karena permintaan kalian sulit untuk dipenuhi.

Tertanda,
Aku yang pernah mengalaminya namun masih sehat walafiat sampai detik ini.

*cheers*

Selamat malam readers, selamat rehat.
God bless us. 😊☺