Wednesday 16 April 2014

-28032014-

Belakangan ini kalo ada masalah mengenai provider yang gue pake, gue nggak pernah ngeluh. Malah sebaliknya, gue bersuka ria itu bisa terjadi. Itu berarti gue harus ke provider center-nya di daerah Kodya Bogor sana. Emang sih agak jauh, karena rumah gue ada di kabupaten. Dan kabupaten itu sendiri dipimpin oleh bupati, bukan gubernur, sedangkan kodya dipimpin oleh walikota. Nah, bupati dan walikota itu bertanggung jawab perihal pemerintahannya kepada gubernur. Dari gubernur baru kemudian kepada presiden. Nah gue jadi bingung apa yang mau gue ceritain tadi, bukan mengenai daerah tingkat pemerintahan itu sih sebenernya. Sampe dimana tadi?

*dua minggu berlalu*

Oh iya, sampe pada gue harus ke galeri provider center untuk beresin masalah provider gue. Nah iya, jadi gitu, gue harus ke provider center-nya buat beresin masalah provider gue. Dan itu berarti gue bakal ketemu customer service cantik yang sebut aja namanya Mawar. 😕 Eh jangan deh udah terlalu mainstream. Sebut aja.. hmm.. siapa ya? Oke, Bambang! Eh, tapi nggak cocok juga. Yang namanya Bambang itu nggak pernah cantik. Hmm, oke baiklah sebut aja "N".

Nah, gue seneng banget hari ini bakal ketemu Mbak "N" ini. Gue suka sama pribadinya yang ramah, baik, dan bersahaja. Yaaa gue tau, CSO pada umumnya kan emang seperti itu, tapi entah kenapa gue begitu mengagumi kepribadiannya.

Dan pagi tadi jam 6 gue udah bangun lalu bersiap mau mandi. Iya, emang terlalu dini, karena gue mau ketemu CSO provider telepon seluler gue itu sekitar jam 11-an. Tapi suka-suka gue donk, hidup hidup gue. 😬 Kenapa jadi loe yang sewot?? Oke lanjut..

Eniwei, yang gue cerita kemaren tentang koper yang ke-pending di bandara, yang isinya alat ketampanan (bukan kecantikan) gue, thank's God, nggak ada 1 pun yang ilang, dan udah kembali berjejer dengan rapi di depan cermin meja rias gue. Itu artinya bisa gue maksimalkan kegunaannya hari ini.

Seperti biasa, selepas mandi, gue langsung menuju ke depan cermin untuk memperganteng (bukan mempercantik) diri. Kebiasaan buruk gue yang selalu berulang-ulang terjadi adalah gue baru menyadari bahwa deodorant Al*xand*r gue udah hampir abis ketika mau gue pake hari itu juga. Dan gue perkirakan pemakaiannya hari ini cuma cukup buat ketek sebelah kanan ato kiri aja, nggak mungkin bisa ter-cover dua-duanya. Tapi sebagai manusia tampan seutuhnya, gue nggak pernah panik dengan situasi genting macem begitu. Gue selalu bisa mengatasi dengan cara mengkombinasi sumber daya yang ada. Yaaa, udah bisa dipastikan, sih, hasilnya nggak akan semaksimal biasanya, tapi seenggaknya bisa teratasi dengan gemilang.

Setelah melalui perdebatan panjang serta gencatan senjata yang cukup sengit antara ketek kanan dan ketek kiri, dimana kedua kubu (ketek) tersebut bisa sangat berpotensi untuk saling menjatuhkan, akhirnya gue putuskan ketek kiri untuk memenangkan perkara yang cukup pelik ini. Gue di sini hanya bertindak sebagai penengah, dan nggak ada maksud untuk pilih kasih, apalagi pilih ketek, karena kedua kubu ketek tersebut, kesemuanya adalah aset berharga gue di masa depan. Entah apa jadinya kalo kedua ketek itu pergi meninggalkan gue. Mungkin gue bakal jadi seorang pemuda tampan baik hati yang armpit-less, atau seorang yang hidup sebatangkara tanpa kehadiran sang ketek. (ini apaan sih woyyy??!!)

Oke, kenapa gue berkeputusan buat makein deo Al*xand*r itu ke ketek kiri gue? Itu gue lakukan demi menghindari terjadinya kesenjangan sosial diantara ketek dan gue harus bersikap adil sesuai dengan penyataan Pancasila sila ke-2 butir ke-3568. Mungkin ada beberapa dari loe yang pernah baca tulisan gue di blog yang sebelumnya, yang mana gue diperhadapkan pada situasi yang sama seperti tadi pagi, namun gue lebih memilih ketek kanan buat gue pakein G*tsby pada waktu itu. Dan ketek kiri yang akhirnya ngalah, gue pakein S*ffell spray, karena saat itu bener-bener nggak ada cologne lain sebagai substitusinya. Tapi dengan begitu ada hal positifnya juga, ketek kiri gue selain wangi kulit jeruk, juga bebas dari gigitan nyamuk demam berdarah maupun malaria, yaa walopun rasanya agak nyelekit-nyelekit semriwing dikit gitu di ketek gue. 😒 Untungnya pagi ini gue masih ada stick-deodorant D*ve, yang kemaren udah dilengserkan dari tahta nyokap buat gue, jadi gue nggak perlu pake spray anti nyamuk buat ketek kanan gue.

Oke akhirnya gue pun udah rapi dan siap buat pergi menemui Customer Service Officer cantik di galeri provider center, lengkap dengan amunisi semprotan deo Al*xand*r di ketek kiri gue dan olesan stick-deo D*ve di ketek kanan gue.

Setelah 2 jam melewati pergumulan batin yang hebat tentang ketek tadi, akhirnya gue berangkat. Gue sengaja berangkat lebih awal karena sebelumnya gue ada urusan dulu untuk ngirim paket sama beli deodorant baru.

Sampe di provider center, jam di tangan gue udah terpampang pukul 11.00 WIB. Gue pun segera ambil nomer antrian dan kertas di tangan gue menunjukkan angka 523, itu berarti gue harus nunggu giliran 2 orang lagi. 15 menit berlalu, ketika nomer antrian gue dipanggil, bak pucuk dicinta berenang-renang ke tepian (lho???), seakan jodoh, ternyata CSO-nya Si Mbak "N" yang tadi gue ceritain itu. 😙😚

Nggak butuh waktu lama, langsung aja gue jelaskan maksud dan tujuan serta gue utarakan perasaan gue, eh, salah, gue sampaikan apa yang jadi permasalahan tentang hape gue. Mbak "N" ngejelasin dengan sangat elegance, sambil sesekali senyum seolah mamerin kawat giginya, dia tetep fokus ngejelasin ke gue dengan menatap terus mata gue. Rambutnya yang pendek seakan menguatkan karakternya sebagai wanita yang simple dan single (ah sotoy amat luh!!). Ohhh.. sungguh indahnya karya surgawi yang terdeskripsi di hadapan gue itu. Parasnya yang anggun bikin gue cuma "heu'euh-heu'euh" aja ngedengerin apa yang dia bilang. Gue juga nggak akan bisa kalo suru ngejelasin balik, apa yang dia jelasin ke gue. Seakan terbuai, gue sangat terpesona dengan tatapannya yang teduh dan sangat mengayomi tersebut. Mungkin gue sampe ngacay, kali, di counter 1 tadi.

Sekitar 10 menit tatapan matanya terus beradu dengan pandangan mata gue. Akhirnya urusan gue selesai dan kami pun saling mengucapkan terima kasih, seraya bangun dari kursi. Gue pun menuju parkiran motor untuk pulang.

Sebelum pake helm, seperti biasanya gue selalu bercermin di kaca spion motor buat ngecek penampilan. Ketika gue mendapati sebuah wajan, eh, wajah di hadapan gue, seketika gue syok berat, menemukan secercah kemilau mutiara di sudut mata kiri gue, yang kalo dalam bahasa Perancis biasa disebut "les BELEK" !!! 😲😲😲
Omaigooottt tukang somay kecebur goootttt!! Jadi.. dari tadi.. ??? 😳😳😳 ketika pandangan kami beradu dengan harmonisnya.. 😢😢😢

Ahhh.. ya sudahlah.. nasi Padang sudah menjadi bubur Cianjur. Kalo kata Raisa:
♪♬ mau dikataaakan apalaaaagiiiii... ♪♬

Mungkin gue nggak bakal balik lagi ke sana. Gue bakal ganti provider aja ato gue bakal nggak pake provider lagi, mungkin bisa pake mesin fax ato telegram aja. 😑😕😣

Tapi 1 hal, peristiwa yang sangat spektakuler itu menunjukkan sikap profesionalisme yang sangat dijunjung tinggi, mau gimana pun keadaan dari customer, Si Mbak "N" tadi tetap melayani dengan senyum yang menawan. Makasih, Mbak. ☺ *suara instrumen lagu Gugur Bunga mengalun lembut*

Eh, tapi kan customer mau gimana juga keadaannya, itu haknya customer tho? *seketika lagu Gugur Bunga ganti jadi lagu Surti Tedjo-nya Jamrud* Yeeeaaahhh!! 😎😎😎

Oke, tadi itu kisah gue hari ini. Diangkat berdasarkan novel kisah nyata.

Selamat malam, readers!! Selamat rehat.
God bless us. ☺😊

-16042014-

Mungkin para readers bosen ya baca tulisan gue yang selalu panjang. Kalian boleh loh unfollow gue, kalopun engga, kalian juga boleh nggak nge-klik "continue reading" di status gue, biar timeline di home kalian nggak penuh. Dan kalian juga boleh nggak setuju dengan apa yang gue tulis, tapi gue nggak akan mengijinkan kalian untuk melarang gue menulis karena untuk bikin masterpiece agung semacam ini sangat dibutuhkan passion yang nggak sederhana dan juga kesabaran, karena keypad hape gue cukup kecil, jadi sering salah-salah pencet gitu. 😊☺

Well, ok, rencananya gue mau nulis ini dari tadi malem. Banyak kejadian absurd yang menginspirasi gue untuk bikin thesis ini. 😁 Tapi karena penat sudah mendera fisik dan mental, akhirnya gue urungkan niat nulisnya kemudian gue maen PS, alhasil gue begadang dan tambah capek. (hayah!!)😥😧 Namun rasa lelah yang masih bertengger (ayam kali ah!) nggak bikin gue berhenti menulis siang ini. Entah ya, gue suka buat menuangkan sesuatu yang ada dalam pikiran gue melalui bentuk tulisan, mungkin gue cocok dan berbakat jadi pemain bola. Udah nggak usah dibahas, gue juga nggak tau nyambungnya dimana. Tapi jadi pemain bola itu adalah cita-cita gue semasa kecil. Kalo sekarang, nggak ada sama sekali tuh kepikiran buat nendang-nendang bola, atau ngejar-ngejar bola di lapangan yang segede gaban itu. Maen futsal yang lapangannya kecil gitu aja, baru 3x dapet bola, udah langsung minta digantiin pemain lain, engap mau mati. Stamina dan gairah maen bola gue udah nggak kayak jaman gue muda dulu, yang mana kalo ngeliat bola itu bawaannya langsung pengen nge-smash aja (maen bola apa maen catur??). Melihat indikasi kayak gitu, gue berpikir karir sepakbola gue sepertinya bakal tamat (lah?? Jadi pemain bola aja enggak, tamat apanya??)

Ok balik lagi, kemaren gue baru balik dari Jogja, sebuah kota yang menurut gue indah, dan nyaman untuk bermukim, dengan penduduknya yang relatif ramah. Balik ke Bogor gue naek kereta "Bogowonto" yang jam setengah 8 pagi. Nggak banyak kegiatan yang bisa gue lakukan selama kurang lebih 8 setengah jam di dalem kereta itu selain baca buku, dengerin mp3, liat-liat pemandangan dari jendela, moto-motoin secara sembunyi-sembunyi penumpang lain yang lagi tidur sambil ngacay ato sambil mangap, panjat pinang, balap karung sama jualan nasi padang. Rasanya bosen banget.

Waktu berlalu, pukul 15.55 WIB tepat, sampelah gue di Monday Traditional Market Railway Station (baca: Stasiun Pasar Senen). Karena nggak ada kereta yang langsung dari Jogja ke Bogor, maka gue transit dulu di Monday Traditional Market Railway Station tersebut, kemudian gue beli tiket lagi untuk ke Bogor.

Sebelum naek kereta ke Bogor, gue nyari-nyari toilet dulu, gue kebelet pipis. Ga sampe 2 hari, akhirnya gue temukan tempat terindah bagi para kebelet-pipiser (drum = drummer, compose = composer, kebelet-pipis = kebelet-pipiser) tersebut. Di toilet itu cuma tersedia 2 urinoir (tempat buang air kecil berdiri buat pria). Dua-duanya penuh terisi orang dan gue antri di belakangnya. Gue merhatiin orang yang lagi pipis di depan gue, agak-agak heran ngeliat cara orang itu pipis. Laki-laki paruh baya itu pipis dengan jarak sekitar setengah meter jauhnya dari urinoir tersebut. Gue nggak ngerti maksud dan tujuan dari pelaku berbuat seperti itu. Mungkin dia berharap akan ada orang yang takjub liat metode yang dia gunakan untuk mendapatkan kelegaan tersebut dan berharap dipuji:

"Wow!! Bapak pipis dengan cara yang sangat spektakuler!! Amazing!! Marvelous!!"

Tapi sayangnya nggak ada yang muji, kasian juga sih. Tadinya gue mau nyapa, tapi kayaknya nggak etis pipis sambil bercengkrama bertegur sapa saling silaturahmi gitu, belom kalo dia ngajak salaman, terus entar pipisnya gimana? Jadi abstrak dong?

Akhirnya gue memutuskan untuk mengambil kesimpulan bahwa si bapak itu mungkin ngerasa jijik kalo harus deket-deket apalagi nempel-nempel sama urinoirnya.

Ok, setelah urusan gue selesai dengan gemilang di toilet, lantas gue langsung masuk ke ruang tunggu kereta. Sekitar 20 menitan gue nunggu akhirnya kereta ke Bogor belom datang juga. (???) Dan baru dateng setelah gue nunggu setengah jam. 😬😡😥

Masalah bermula ketika gue masuk ke gerbong yang bernama Commuter Line itu. Awalnya sih dari Stasiun Pasar Senen itu, keadaan masih kondusif karena masih banyak tempat untuk duduk. Tiba di Stasiun Kampung Bandan, suasana udah mulai agak mengkhawatirkan. Gue sendiri akhirnya bangun dari tempat duduk dan mempersilakan seorang ibu yang naik bersama anaknya untuk duduk. Sampe di Stasiun Sudirman, gue di dalem kereta dengan keadaan berdiri sambil ngegendong tas di depan, berasa kayak lagi maen game "The Last of Us". Begitu pintu kereta dibuka, serta merta banyak zombie yang brutal masuk ke dalem kereta seolah hendak memperkosa gue. Ok, kenyataannya bukan zombie, tapi para pekerja yang pulang kantor. Mereka sangat liar dan binal demi mendapat tempat di dalem kereta. Penderitaan pun dimulai. Kereta sangat penuh dan sumpek. Gue sama sekali nggak bisa gerak, bahkan pas cangcut gue nyelip tepat di pusatnya pun; karena tangan gue dua-duanya udah terlanjur di atas untuk pegangan sama besi penyangga, dan nggak bisa turun lagi. Dan kereta pun kembali bergerak menuju stasiun demi stasiun.

Di setiap stasiun, kereta bakal berenti untuk naikin dan nurunin penumpang. Nah disitulah peluang emas bagi gue untuk merubah posisi anggota tubuh, karena sedikit banyak akan ada pergantian penumpang yang naik dan turun. Bagi para pengguna kereta, ada baiknya lo memikirkan secara matang pose apa yang akan lo pake disetiap momen indah tersebut jauh-jauh sebelum kereta berenti di stasiun berikutnya, karena sepersekian detik setelah para zombie masuk dan pintu kereta ditutup, lo nggak akan bisa berubah pikiran untuk merubah pose lo berdiri. Kalo tangan udah terlanjur di atas, nggak akan bisa lo turunin, begitu juga dengan kaki, kalo kaki lo udah terlanjur di bawah, sampe stasiun selanjutnya kaki lo nggak akan bisa dinaekin ke atas (lah??ngapain juga naekin kaki yah??)

Jadi, kalo pose yang lo pilih misalnya pose ngupil, dan para zombie udah terlanjur masuk, lalu pintu kereta ditutup, ati-ati, lobang idung lo berpotensi membesar dan bukan nggak mungkin bakal bedarah-darah karena kesodok-sodok zombie-zombie yang lain. Untuk itu jangan pernah berpikir untuk memilih pose memasukkan jari apalagi pahat atau linggis ke dalem idung saat berjubelan di dalem kereta. Ini serius, demi terciptanya keadaan yang ergonomis buat anggota tubuh lo.

Kemaren gue sempet berubah posisi untuk mendapatkan keadaan yang lebih baik. Tepatnya di Stasiun Manggarai, pas terjadi pergantian zombie, gue berbalik arah 180° karena gue ngerasa pegel ngadep sono mulu. Setelah gue berbalik, bukan keadaan yang lebih baik yang gue dapetin, bahkan malah memburuk, sangat buruk. Terrible! Tepat di depan muka gue, sejauh mata memandang, terbentang luas sebuah ketek nan permai jaya sentosa dari seorang bapak-bapak bertopi biru yang tangannya lagi ke atas buat pegangan. Seperti kata gue tadi, kalo pintu kereta udah ditutup, lo udah terlambat untuk ngubah posisi lo. Dan sampe stasiun berikutnya gue bakal terus bercumbu mesra dengan maha ketek tersebut. Oh God... 😳
Dan jangan sekali-sekali kentut di dalem kereta yang lagi penuh sesak, karena kasian bagi zombie-zombie yang lain, yang tangannya udah terlanjur terjebak di bawah, kalo ke-bau-an kentut, nggak bisa nutup idungnya pake tangan, mungkin bisa pake linggis.

Bagi pengguna kereta, pasti udah bisa ngebayangin, kayak apa keadaannya di dalem gerbong laknat tersebut kalo pas jam pulang kantor. Segala bau-bauan dari bau jengkol anggora, bau keringet domba, bau ketek embe, sampe bau jigong naga, udah nyampur jadi satu. Mungkin setara dengan bau Kali Ciliwung di musim bunga Sakura. 😧😣

Ada 1 hal asik yang bisa gue dapetin ditengah penderitaan itu. Satu-satunya hiburan disaat ujian jiwa raga menusuk kalbu tersebut, yaitu bisa kepo sama orang yang lagi SMSan atau BBMan, karena mereka terlanjur ngeluarin hape dan nggak bisa nurunin lagi hapenya, maka gue pun bisa ikut baca apa yang jadi pembicaraan mereka, tanpa diketahui oleh si pemilik hape, karena posisi dia membelakangi gue.

Salah satunya ada bapak-bapak muda di samping gue yang lagi SMSan, sama istrinya:

"Mah, Papah telat.. Mamah yang sabar yah.."

"Iya, Pah.. gapapa ati-ati yah Pah.."

Gue berpikir, "lho, harusnya mereka seneng dong? Itu berarti mereka bakal mendapatkan keturunan bukan?" 😞 tapi kok yang telat suaminya? Sepertinya dunia udah terbalik.
Tapi entahlah itu urusan mereka, kenapa juga gue mikirin? 😒

Tiba di stasiun Depok, gue kembali mendapatkan peluang untuk ngubah posisi. Dan kali ini yes!!! agak lebih baik walopun masih berdiri. Perjalanan pun kembali dilanjutkan sampe Stasiun Bogor.

Tepat jam 7 malem gue menjejakkan kaki di Stasiun Bogor. Terima kasih Tuhan, Engkau telah menyertai perjalanan yang panjang ini, terima kasih juga untuk perlindunganMu terhadap zombie-zombie brutal yang hendak menzolimi hamba. 🙏

Gue salut banget dah sama orang-orang yang kerja di Jakarta, yang make kereta buat kendaraan sehari-harinya. Mereka adalah pejuang-pejuang tangguh di tengah gerombolan zombie yang lain. Tiap hari kayak gitu kayaknya usia gue seumur jagung pun enggak. Mungkin bisa bikin film FTV berjudul: "Mati Ganteng Menggenggam Cinta Abadi di Tengah Kebrutalan Commuter Line Jakarta-Bogor". Hmm.. kira-kira ada sutradara yang minat nggak yah? 😐

Tapi orang-orang Jakarta itu kok masih fine-fine aja ya menghadapi situasi semacam itu SETIAP HARI? Bener-bener salut gue! Tapi mereka masih kalah sama Tarzan yang hidup di alam rimba raya! (lah kok Tarzan?? ya biarin dong suka-suka gue!)

Eniwei, gue udah membuktikan bahwa sebau apapun ketek di muka bumi ini, nggak akan bisa membunuh manusia. Buktinya gue masih idup dan bisa nyelesein tulisan ini. Paling parah ya mungkin cuma menderita cedera paru-paru akut. Jadi bagi para pengguna Commuter Line, jangan takut untuk bertemu dengan ketek-ketek asing di luar sana, karena kalo menurut ilmu FTV, cinta bisa bermula dari ketek. Tak ketek maka tak sayang. 😎

Well, itu secuplik kisah yang bisa gue bagikan siang ini. Have a nice day, readers!!
Selamat makan siang!!

God bless you. 😊