Monday 2 June 2014

-02062014-

Bangun tidur jam 9 pagi tadi, gue dikejutkan dengan kedatangan mbah gue ke kamar. Beliau nanya:

"Tadi subuh kenapa tiba-tiba nanyain berapa tanjakan lagi? Tanjakan apa?"

"Hah???"

Gue yang masih disorientasi makin bingung, sepersekian detik baru gue sadari ternyata gue abis mengalami fenomena alam semesta yang biasa kita sebut "ngigo" .. 😞

Well, kemaren gue sama temen-temen komunitas backpacker abis trip ke pedalaman suku Baduy. Banyak pengalaman yang gue dapet dari sana.

Hmm, oke tulisan ini sengaja gue share nggak disertai dengan gambar supaya memberi kesempatan buat mengembangkan daya imajimasi para readers. Tapi gambarnya bisa diliat kok, di koleksi photo tag-an dari temen gue. ☺

Mungkin bagi yang belom tau, Baduy itu ada 2 jenisnya: luar dan dalam. Dimana Baduy luar itu udah agak menerima perubahan jaman, kayak pake hape dan alat-alat elektronik lainnya, diperbolehkan juga naik kendaraan. Sedangkan Baduy dalam itu menurut gue masih sangat primitif, mungkin sekelas sama Mr. Flinstone kali yah.. 😞

Siang itu, sampailah kami di daerah bernama Desa Ciboleger, dan itu adalah batas yang diijinkan untuk pake kendaraan. Di sana kami melepas penat sejenak sambil menikmati santap siang setelah 4 jam kami lalui perjalanan dari The Brother's Land Railway Station ( Stasiun Tanah Abang). Cukup melelahkan, tapi itu belom seberapa, kawan..

Pukul setengah 1 siang, kami udah siap buat bertempur di medan perang. Lalu mulailah kami dengan langkah pertama. Baru sekitar 500 meter jalan, nafas gue udah tinggal seperempat, karena substansi dari perjalanan yang akan kami lalui itu udah mulai terlihat, yaitu tanjakan yang aduhai mukegile. Belom juga setengah jam jalan pandangan gue udah berkunang-kunang, lalu gue liat ada 72 bidadari turun dari langit. Seketika gue berpikir, "apakah ini yang dinamakan surga??"

Hehe, nggak denk nggak segitunya juga. Tapi yang jelas kemaren itu gue hampir nyerah, tapi itu belom seberapa, kawan. Dan akhirnya dengan daya yang masih ada gue coba untuk tetep meniti langkah satu demi satu. Itu masih di sekitar rumah-rumah penduduk Baduy, dimana masih banyak keramaian.

Sekitar 2 jam kami jalan, udah nggak keliatan rumah-rumah penduduknya, yang ada cuma pohon, rumput, tanah coklat, bebatuan, lumut, sesekali ketemu kaki seribu yang nyebrang jalan setapak yang kami lewati, ketemu ulet bulu yang dengan seksinya melenggang di batang pohon, ada juga ular-ular kecil yang lewat, kalajengking juga ada. Udah biasa itu mah, gue nggak akan kaget karena sugesti gue udah berkata bahwa bakal ketemu hal-hal semacam itu. Tapi kalo tiba-tiba di jalan ada badak ato onta lewat, nah itu baru diluar nalar gue. Tapi untungnya sugesti yang aneh macem gitu nggak terjadi.

Sekitar setengah perjalanan, turun ujan gede banget, untung nggak jauh dari posisi kami ada semacam rumah saung milik penduduk, yang biasa digunakan buat berteduh atau tempat istirahat para penduduk yang meladang. Akhirnya kami putuskan untuk berteduh sejenak nunggu ujan agak reda. Ada dari kami yang menggunakan waktu berteduh itu buat tidur, mungkin dia lelah (iya,laahh!!). Sedangkan gue sendiri memilih untuk ngobrol sama salah seorang temen backpacker yang baru gue kenal, namanya Amanda. Dia udah lebih berpengalaman dari gue kalo soal travelling. Banyak info yang di-share ke gue.

Ujan udah mulai reda, cuma tinggal gerimis rintik-rintik. Kami sepakat untuk kembali melanjutkan perjalanan, mengingat waktu kami nggak banyak. Kalo udah keburu gelap, bakal susah menempuh perjalanan dalam hutan.

Abis ujan, medan tempur yang kami lalui semakin sulit, karena bukan cuma tanjakan dan turunan yang kami hadapi, tapi juga licin. Dan selama perjalanan menuju Baduy dalam gue berhasil mencetak hattrick berupa kepleset 3x. 😬
Celana sama sepatu yang udah belepotan tanah, nggak gue hiraukan. Bodo amat, dan gue yakin saat itu image gue lagi dalam posisi udah nggak kéce sama sekali. Tatanan rambut berantakan, baju basah keringet campur aer ujan, pokonya nggak banget. Oh iya, segitu beban gue udah sedikit dikurangi. Atas saran dari temen gue (thanks, Ita, buat sarannya 👍), tas backpacker gue diserahkan ke porter yang kami sewa. Sebenernya nggak rela sih, karena kan kalo naek turun gunung, bawa-bawa tas kayak gitu keliatannya keren-keren gimanaaaaaa gitu. Tapi untungnya gue nurutin saran temen gue untuk mendelegasikan tas gue yang beratnya sealaihim gambreng itu ke orang Baduy selaku porter kami tersebut. Gue ngebayangin, kemaren gue nggak gendong-gendong tas kayak gitu aja, gue kpleset berkali-kali, gimana gue bawa sendiri, euuhh... mending perkosa gue aja sekalian deh.

Dalam perjalanan pengembaraan menuju kampung Baduy dalam banyak banget tanjakan dan turunan. Itu nggak semudah yang orang awam bayangkan. Jalannya terjal, berbatu, licin, pokonya gue bilang itu bukan track manusiawi. Gue rasa yang terbiasa lewat situ, bukan manusia biasa.

Dalam 1 trip, kami ber-16 orang, dan nggak keenambelas-enambelasnya jalan beriringan, kami terpecah-pecah kelompok, mengingat  ketahanan stamina yang beda-beda tiap orang, jadi ada beberapa yang berenti buat istirahat, ada yang masih kuat ya lanjut jalan. Tapi tiap kelompok ada guide-nya (orang Baduy dalam asli) yang ngikutin di belakang kami, takut-takut kalo kami ilang ditelen babi rusa hutan. Gue liat mereka sangat terbiasa dengan medan seperti yang gue deskripsikan tadi. Nggak ada sedikitpun raut muka yang lelah. Buat mereka, perjalanan yang belakang gue tau berjarak 12 kilometer dari Baduy luar ke dalam itu cuma ditempuh selama 1 jam dengan jalan kaki tanpa alas dan dengan medan tempur yang aduhai mukegile itu.
Ketika kami 1 kelompok nanya ke seorang guide kami, orang Baduy dalam yang namanya Sapri (dia nggak punya facebook, sih, jadi nggak gue tag. Haha!),  dia cuma bilang,

"Sebentar lagi sampe. Cuma tinggal 2 tanjakan sama 1 turunan lagi"

And he kept on saying that, everytime we asked.

Tapi nggak nyampe-nyampe, men! Gue yang udah capek di-PHP-in macem begitu, akhirnya memilih untuk nggak peduli apa yang dia bilang, dan gue alergi dengan kata-kata: "dikit lagi" nya versi mereka. Salah juga sih, sebenernya nggak ada itu yang namanya PHP. Pun di dunia percintaan dan asmara. Dan yang seolah memberi harapan itu sama sekali nggak salah, yang salah adalah yang berharap. Hehe, jadi curhat. Ok, back to the track..

Gue udah mau mati. Rasanya buat ngangkat kaki aja nggak sanggup. Kalo kemaren gue paksain dengan kecepatan yang biasa, kram bisa menjalar ke selangkangan mungkin. Sumpah ya, kemaren itu bener hidup gue nggak ada pilihan lain, kecuali 2: meneruskan perjalanan atau melanjutkan meniti satu demi satu langkah untuk menyelesaikan perjalanan maha berat itu. Yang pada intinya adalah sama aja, daripada gue mati ditelen babi rusa hutan, mendingan mati di pelukan Olla Ramlan (lah..??)

Eniwei, gue jadi inget binatang kaki seribu yang gue temui selama perjalanan. Gue aja yang kakinya cuma dua, pegelnya naudjubilah. Gimana si kaki seribu itu ya? Coba bayangkan berapa banyak Counterpain Cool yang abis buat ngolesin kakinya? By the way, gue baru tau ada Counterpain Cool, enak rasanya kayak ditempelin es batu. Makasih Mas Alex buat Counterpainnya.

Kira-kira jam setengah lima menjelang jam lima, akhirnya.. akhirnya.. AKHIRNYAAAAAA kami nyampe. Meeenn 4 jaaaaaammmm jalan kaki. Walopun gue masih idup, tapi badan berasa nista banget. Belepotan, remuk redam, luluh lantak, amburadul nggak karuan. Sebelum masuk rumah salah satu warga, kami bersih-bersih dulu seadanya di pancuran mata air dari gunung. Airnya super jernih. Gue sekalian minum di situ. Dan itu pertama kalinya dalam hidup, gue mandi nggak pake sabun, nggak gosok gigi, karena emang di area Baduy dalam nggak dibolehin pake sabun dan pasta gigi.

Sekitar jam 7 malam, kami udah selesai bersih-bersih dan udah beres makan malam juga. Makan malam seadanya dengan mie instan, ikan sarden kalengan dan beras yang kami bawa dari rumah masing-masing. Tibalah sesi berkumpul di satu ruangan (tapi emang ruangannya cuma satu sih) untuk ngobrol-ngobrol, sharing, brainstorming dengan beberapa tokoh Suku Baduy dalam. Mereka banyak cerita tentang kehidupan Suku Baduy dan juga kebiasaan-kebiasaan yang berlaku di suku mereka. Temen-temen backpacker banyak yang bertanya. Gue sendiri hanya mendengarkan dan menyimak.

Di sekitar temaram sumber cahaya yang hanya berupa lilin, gue mikir: "apa bisa ya gue hidup seperti mereka dengan sarana seadanya kayak gini...?". Listrik nggak ada, tv nggak ada, internet nggak ada, vibrator nggak ada.. #eh

Satu kampung itu nggak ada cahaya yang mencolok, hanya remang-remang cahaya seadanya. Hampir gelap gulita. Jadi kalo malem-malem gue mau buang air, gue bakal mikir-mikir lagi. Dimana juga gue nggak tau. Dan kalo saat itu gue ketemu jin dan gue dikasih satu permintaan, pinta gue hanya 1: tolong supaya perut dan pantat gue bisa kooperatif, jangan memaksa gue untuk harus berperan serta dan aktif dalam menunaikan tugas mulia untuk memenuhi panggilan alam di tempat yang kayak gini. Pleaseeeee.. bisa? Dan akhirnya mereka pun setuju dengan permintaan terdalam dari lubuk hati gue tersebut. Puji Tuhan sampe trip selesai, perut dan pantat gue saling bahu membahu demi terciptanya suasana yang kondusif. Mereka pun akhirnya hidup bahagia bersama selamanya.. (ini apaan yah??)

Pagi-pagi bangun tidur, sekitar jam setengah 7, kenyamanan gue terganggu dengan sedikit pemberontakan dari perut gue, agaknya dia mulai nakal mengingkari kesepakatan yang udah kami buat semalam. Perut gue melakukan sedikit gencatan senjata. Dan keringet gue pun mulai bermunculan di kening. Bagi sebagian cewek yang pernah gue survei, cowok keringetan itu seksi. Padahal bukan itu kenyataan yang sebenarnya. Gue lagi nahan suatu hasrat yang menggebu dari dalam lubuk pencernaan gue. Walopun di luar udah nggak gelap, gue tetep bingung dimana kalo gue harus melampiaskan hasrat terpendam ini. Gue pun bergumul hebat dalam meredam gejolak hasrat jiwa. Dan akhirnya gue cari  solusi untuk kebaikan bersama. Demi win-win solution, gue bilang,

"Ok, kalo lu bisa nahan hasrat lu, nanti pulang sampe Bogor, gue janji, lu bakal gue beliin pizza, mie ayam, surabi duren coklat keju, ongol-ongol, pie jengkol, sari mengkudu goreng, whatever yang lu mau deh, tapi please gue mohon, jangan di sini..!!"

Melihat penawaran bagus dari gue, akhirnya perut gue selaku pihak kedua, mulai melunak, dan bersedia ngikutin apa yang gue mau.

Well, selesai berkemelut panjang antara gue dengan sang perut, sekitar jam 7 menjelang setengah 8, kami bersiap untuk menaklukan kembali sisa perjalanan trip Baduy ini. Another 12 kilometers, meeeeennnn!! Belum lagi track yang harus dilalui menurut gue sih.. ah udah lah speechless gue. Pokonya masih sama kayak perjalanan pergi kemaren. Terjal, berbatu, licin, tanah basah, berbelas tanjakan dan berbelas turunan. Tapi agaknya perjalanan pulangnya ini lebih unreasonable menurut gue. Parah banget. Lebih nggak manusiawi. Tapi kembali pilihan hidup gue cuma: meneruskan langkah untuk kembali pulang atau mati ganteng di tanah Baduy.

Tapi kendati agak susah jalannya, dimana kaki gue masih belum recover, udah dipaksa jalan lagi, gue berhasil melaluinya dengan cuma kepleset sampe terguling 2x aja, selisih 1x dari perjalanan berangkatnya kemaren. Yeahhh!! Dan gue masih idup sampe sekarang. Dan itu merupakan keberhasilan yang cukup gemilang buat gue yang minim pengalaman di medan kayak begitu.

Singkat cerita, jam setengah 6 sore kami berpisah di The Brother's Land Railway Station, yang balik ke Bogor cuma gue dan 1 temen gue. Jam 8 tepat, gue sampe di rumah dengan keadaan lusuh kayak coverboy kecemplung empang. Langsung mandi dan makan.

Jam 10 malam gue berniat untuk mengistirahatkan semua anggota tubuh gue, tapi tetep aja mata gue nggak bisa terpejam. Gue nyalain lampu lagi, pandangan gue tertuju pada kemasan bertutup biru, bertuliskan "Geliga". Gue berpikir, oke mungkin itu bisa meringankan sakit otot di kaki gue supaya nggak kram. Sesaat kemudian, kaki gue udah terbalur balsem panas itu, gue mencoba untuk tidur. Tetep nggak bisa, karena kaki gue sekarang malah kepanasan efek dari balsem itu. Akhirnya gue nyalain tv, kebetulan ada pertandingan uji coba Jerman melawan Kamerun. Tapi belom sampe pertandingan beres, gue udah ngantuk. Sebelum beranjak ke kamar, gue pipis dulu. Setelah gue selesai dengan urusan kamar mandi baru gue naek ke kasur dan matiin lampu. Tiba-tiba ada rasa mencekam hadir di bawah sana. D*mn!! Gue baru inget kalo tangan gue abis ngegosok-gosok balsem, dan tadi gue abis pipis. Aduh itu rasanya spektakuler sekali. Selangkangan gue serasa diremes-remes. Dan nggak berapa lama gue rasakan seolah selangkangan gue menghilang, mungkin efek balsemnya langsung bekerja dengan seksama. 😣 Tapi ya sudahlah, mau dikatakan apalagi, gue ambil positifnya aja, supaya otot-otot di bawah sana juga nggak tegang nggak kram. 😧😥
Dan gue nggak inget jam berapa gue terlelap sampe akhirnya menurut kesaksian mbah gue, tengah subuh buta gue nanyain tentang berapa banyak lagi tanjakan yang harus dilewatin. 😕😒

Kalo kemaren di grup trip itu ada temen gue yang phobia ular. Sekarang gue tau phobia gue adalah tanjakan dan turunan.. gembel!

But overall, thanks temen-temen backpacker, sampe ketemu di lain event. Tapi jangan ajak gue ke Baduy lagi dulu ya. Gue mau menata hidup gue yang berantakan terlebih dahulu. Mungkin 7 sampai 9 tahun lagi baru akan gue pikirkan untuk ke sana lagi. Seneng juga, banyak pengalaman yang gue dapet dari sana, dan banyak temen baru juga. Sekali lagi thanks guys! 😊👍😉 buat temen-temen yang kakinya coplok-coplok semoga lekas sembuh, begitu juga dengan gue.